alt/text gambar

banners

Senin, 13 April 2015

Marco Van Basten


"VAN Basten tidak pernah dianggap manusia darah dan daging, tidak seperti Maradona, yang meleburkan diri dengan hiruk pikuk kehidupan Napoli. (Sementara) anak Argentina itu hidup di hati masyarakat, kecintaan pada Van Basten ada di kepala." Demikianlah sebuah paragraf Zeeger van Herwaarden dalam bukunya, Marco van Basten: De Jaren in Italic en Oranye, yang diterjemahkan oleh Laurent Sipahelut menjadi Marco van Basten: Era AC Milan dan Oranye (2006).

Van Basten memang serupa angsa. Karena itu, orang Italia menjulukinya Il Cigno (si angsa). Ia anggun, elegan, amat memesona, tapi tak ada orang yang bisa mendekatinya. Apalagi membelainya. Ia hanya bisa dikagumi dari kejauhan, tapi tak bisa disentuh. Seusai memesona puluhan ribu penonton di stadion, ia akan bergegas mandi dan sesegera mungkin pulang ke rumah. Permintaan tandatangan dari fans diberikan sebagai bagian dari pekerjaan, bukan sebentuk basa-basi keramahan. Permintaan wawancara dari juru warta akan ia jawab dan hanya jika berkait dengan sepakbola. Begitu pertanyaan menjurus ke urusan pribadi, dengan enteng ia akan ngeloyor pergi. 

Seperti ditulis Van Herwaarden, sejak kecil, satu-satunya hal yang diketahui dan menarik hati Marco muda hanya sepakbola. Ini karena sejak sebelum 10 tahun, saat masih bermain di klub amatir EDO, di kota kelahirannya, Utrecht, Marco telah jadi talenta yang mengundang perhatian. Sementara ayahnya, Joop van Basten, adalah seorang pelatih amatir yang ngomongnya tak lain hanya sepakbola.

Di kamar Marco, tulis Van Herwaarden, setiap malam, sebelum Marco tidur, ayah dan anak Van Basten itu menyempatkan untuk membahas teknik dan taktik sepakbola barang setengah jam. Van Basten senior juga seorang yang sangat keras, terutama kepada anaknya sendiri. Sebagus apapun Marco bermain, Joop tak pernah menunjukkan rasa puasnya. "Dengan kemampuan yang kamu miliki, kamu semestinya jauh lebih baik," demikian hardik Joop pada Marco.

Kerasnya Joop menempa anaknya amat membekas pada Marco. Marco tumbuh jadi remaja yang selalu ingin membuktikan diri. Kepada orang lain, tetapi terutama kepada diri sendiri. "Saya adalah yang terbaik kedua setelah saya," demikian semboyan Van Basten yang, konon, masih dapat ditemukan tertera di meja kerjanya sampai saat ini. Dan semangat itu, yang melengkapi bakat dahsyatnya, mengantar Marco dengan tanpa kesulitan menapaki tangga kebintangannya.

Di Ajax-lah kemudian Van Basten mendapat sentuhan langsung dari legenda sepakbola terbesar Belanda, Johan Cruyff. Jika Van Basten senior menempa Van Basten junior keras terhadap dirinya sendiri, maka Cruyff—yang oleh beberapa kalangan dianggap seorang maniak—mengarahkan Van Basten untuk keras terhadap seluruh dunia. Sang legenda menanamkan dalam-dalam ke pikiran si calon legenda kalau sepakbola pada dasarnya hanya tunduk pada satu hukum: memakan atau dimakan. Cruyff pula yang menanamkan pada benak Van Basten bahwa untuk bertahan menjadi juara diperlukan sikap jemawa. Misalnya, saat Van Basten resah karena hanya jadi cadangan di skuad Belanda untuk Piala Eropa 1988, Cruyff dengan setelah menghasut mengatakan kepadanya: “Kamu penyerang terbaik Eropa... Main sebagai penyerang atau jangan main sama sekali.” Dengan sangat tepat Van Herwaarden mengatakan kalau Cruyff tak hanya membuat Van Basten lebih waspada, tajam, dan lihai, tapi juga lebih keras lagi bengis. Dan memang itulah gambaran lengkap seorang Marco Van Basten, sebagai pribadi maupun sebagai pemain.

Beberapa kisah yang bisa kita temukan di buku ini bisa diajukan sebagai contoh. Van Basten adalah aktor penting dalam kejadian memalukan saat skuad Belanda pada kualifikasi Piala Dunia 1990, yang dipelopori sang kapten, Ruud Gullit, sepakat “mencopot” pelatih mereka sendiri yang kurang dikenal, Thijs Libregts—sebuah kejadian yang selalu menjadi rujukan setiap orang yang ingin menelisik mengapa di balik membanjirnya bakat-bakat sepakbola, Belanda hanya punya seupil piala. Pada lain kesempatan, saat menjadi kapten timnas Belanda pada kualifikasi Piala Eropa 1992, dengan tanpa belas-kasihan, Marco meminta pelatih Belanda saat itu, Rinus Michels, agar meminggirkan Wim Kieft, striker senior yang tidak sukai Marco—dan permintaan itu dituruti.

Tapi, ke-“garang”-an van Basten tak hanya terjadi di luar lapangan. Menjadi striker hebat di Serie-A yang dikenal karena kebengisan bek-beknya, van Basten tumbuh menjadi penyerang yang juga bengis. Merasa tak cukup dilindungi oleh wasit, dan bukan jenis pemain yang suka mengiba kepada wasit untuk minta belas-kasihan, van Basten mengembangkan perlindungan diri dengan caranya sendiri: membalas. Itulah yang membuatnya disegani. Insiden paling terkenal adalah saat ia membuat bonyok hidung bek Club Brugge, Pascal Plovie, dalam sebuah pertandingan di Piala Champions. Insiden yang menghasilkan skorsing empat pertandingan (sebelum dikurangi menjadi tiga) itu, oleh van Basten dengan enteng dianggapnya sebagai sebuah ‘kecelakaan belaka”. Yang perlu ditambahkan, bonyoknya hidung Plovie ini hanya berselang dua pekan dari sebuah keributan yang ditimbulkannya saat Milan kalah lawan Porto, di mana van Basten diklaim telah membuat jontor bibir bek Porto, Veloso.

***

Dikenal sebagai pribadi yang keras dan dingin, bukan berarti suasana itulah yang kita dapati sepanjang buku. Dari keanggunan yang tak tersentuh dari van Basten, yang secara umum menjadi kesimpulan dari buku ini tentang siapa van Basten, banyak bagian yang justru sangat menyentuh. Ya, tak sebengis gol-golnya, beberapa bagian dari diri van Basten masih menyikan drama untuk kita—yang sebagian mungkin tak banyak diketahui oleh para pembaca tabloid olahraga.

Meski telah menjadi penyerang hebat di Liga Belanda, kepindahannya ke Milan pada musim kompetisi 1988 tak serta-merta mencuatkan karirnya ke puncak sebagaimana yang kita ketahui belakangan. Datang ke Milan dengan ligamen lutut telah rusak, ia melewati musim pertama bersama Rossoneri dengan lebih banyak menjadi cadangan dari Pietro Paolo Virdis, striker yang bahkan tak banyak dikenal dalam sejarah AC Milan. Van Herwaarden menggambarkan, ketika Rudd Gullit dielu-elukan karena menjadi poros utama kesuksesan Milan merebut Scudetto dari dominasi Napoli-nya Maradona—sebuah gelar yang mengawali era keemasan Milan pada akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an—van Basten hanya duduk-duduk tenang di pinggir lapangan. Ia tak larut dalam kegembiraan tim itu karena merasa tak menjadi bagian dari kesuksesan tersebut.

Tak cukup sukses pada musim pertamanya di Milan membuat van Basten hanya jadi ban serep di skuad Belanda untuk Piala Eropa 1988 di Jerman Barat asuhan Rinus Michels. Menjadi cadangan dari striker yang kini sudah hampir terlupakan dari memori kita soal timnas Belanda, John Bosman, Michels memaksa van Basten untuk bermain di sayap kiri dan memberinya nomor punggung pemain cadangan, 12, yang oleh Basten disebut sebagai “nomor tribun”. Namun, seperti sebuah film olahraga kacangan, semua orang kemudian tahu, Basten muncul di akhir turnamen sebagai pahlawan.  

Namun, drama terbesar dari kisah van Basten tentu saja adalah cedera engkelnya. Jika van Basten adalah superhero di dunia sepakbola, maka cedera engkel ini adalah penjahat tangguh dan licik yang selalu merongrongnya—dan akhirnya berhasil mengalahkannya. Berlatih terlalu keras, dan menjadi musuh nomor satu semua bek, van Basten telah hidup dengan cedera sejak belia, sebagaimana dialami oleh pemain-pemain hebat macam Maradona dan Baggio. Namun, Basten, dengan kelenturan tubuh yang alami, selalu sukses untuk kembali ke lapangan dan kembali mencetak gol. Namun, sebuah cedera yang didapatinya setelah melawan Ancona pada sebuah partai Serie A di mengujung tahun 1992 berbeda. Cedera itulah yang membuatnya menerima penghargaan Pemain Terbaik Dunia dengan kaki pincang. Cedera itulah yang mengharuskannya berpindah dari satu dokter bedah ke dokter bedah lain (dengan satu dokter dengan dokter yang lain saling menyalahkan), dari satu meja operasi ke meja operasi lain, dan–pada akhirnya--dari satu kemungkinan sembuh ke ketidakmungkinan sama sekali. Cedera itulah--setelah melewati bulan-bulan yang menyakitkan, penuh darah penuh nanah, penuh penantian yang memutusasakan--akhirnya memaksanya untuk menyerah. Di usia 28 tahun!



Meski bercerita tentang Marco Van Basten dari awal karirnya hingga masa kepelatihannya dengan detail yang mengagumkan, buku ini jelas bukan buku biografi, apalagi otobigrafi. Bukan saja karena terlalu tipis untuk sosok sebesar Van Basten, tapi juga memiliki bentuk yang terlalu aneh untuk sebuah buku riwayat hidup. Zeger Van Herwaarden, sang penulis, menyisipi (atau malah, tepatnya, mengawali) tiap pergantian bab dengan fragmen-fragmen hidupnya sendiri. Tapi, alih-alih mengganggu, fragmen-fragmen pendek hidup penulis ini justru malah menjadikan buku ini menjadi sangat personal bagi penulis. Lebih-lebih lagi, Van Herwaarden menulis dengan cara yang lincah dan cergas, khas gaya para penulis kolom sepakbola Eropa.

Lepas dari bentuknya, ini buku langka yang penting. Penerjemahannya yang langsung dari bahasa Belanda sudah jadi salah satu keistimewaannya. Sebab, dalam khazanah perbukuan Indonesia, biasanya hanya buku-buku ilmiah dan sejarah saja yang diterjemahkan langsung dari bahasa Belanda. Yang perlu dipuji juga adalah usaha penerjemahnya untuk memberdayakan dan mengekplorasi kosa-kata Indonesia dalam penerjemahan ini. Banyak kosa-kata yang jarang—yang sering disangka telah arkais— dipakai penerjemah dalam buku ini. Kata "sintas", “retas”, “dolak-dalik”, "jemawa", atau "langsam" dapat dengan mudah ditemukan dalam buku ini.

Suka atau tidak dengan sepakbola, kenal atau tidak dengan Marco van Basten, buku ini mesti dibaca para olahragawan dan para pencinta dunia olahraga. Selain menyajikan dengan amat manusiawi sosok olahragawan besar seperti Van Basten, buku ini secara langsung maupun tak langsung menunjukkan kepada kita semua—baik sebagai manusia maupun sebagai olahragawan—apa yang mesti dilakukan dan apa yang tak perlu dilakukan. Van Basten menjadi contoh bahwa kebesaran tak bisa diraih dengan usaha biasa-biasa saja: kerja keras, ambisi besar, standar tinggi, kadang malah harus sempurna, adalah tuntutannya. Tapi, jalan hidup Marco juga mengajarkan, tak ada yang lebih berbahaya bagi diri kita kecuali kita sendiri.***

0 komentar:

Posting Komentar